Thursday 22 October 2015

Terjadinya Petir


 Proses Terjadinya Petir

Petir merupakan salah satu fenomena alam yang paling kuat dan menghancurkan. Kekuatan petir yang pernah tercatat yakni mulai dari ribuan ampere sampai 200.000 ampere. Angka ini setara dengan kekuatan yang dibutuhkan untuk menyalakan 500 ribu lampu bohlam 100 watt.


Meskipun arus petir hanya sesaat, kira-kira selama 200 mikro-detik tapi  kerusakan yang ditimbulkan sangat luar biasa. Selain itu pada saat petir menyambar akan ada loncatan muatan listrik ke benda yang bersifat konduktor di sekitar pusat hantaman. Loncatan ini bahkan bisa mengalir kemana-mana hingga puluhan kilometer.


Petir terjadi akibat perpindahan
muatan negatif menuju ke muatan positif. Menurut batasan fisika, petir adalah lompatan bunga api raksasa antara dua massa dengan medan listrik berbeda. Prinsip dasarnya kira-kira sama dengan lompatan api pada busi.
Petir adalah hasil pelepasan muatan listrik di awan. Energi dari pelepasan itu begitu besarnya sehingga menimbulkan rentetan cahaya, panas, dan bunyi yang sangat kuat yaitu geluduk, guntur, atau halilintar. Geluduk, guntur, atau halilintar ini dapat menghancurkan bangunan, membunuh manusia, dan memusnahkan pohon. Sedemikian raksasanya sampai-sampai ketika petir itu melesat, tubuh awan akan terang dibuatnya, sebagai akibat udara yang terbelah, sambarannya yang rata-rata memiliki kecepatan 150.000 km/detik itu juga akan menimbulkan bunyi yang menggelegar.
Untuk pemahaman yang lebih mudah tentang terjadinya petir, kita memakai analogi sebuah kapasitor besar, yang dimana lempengan pertama yaitu awan, lempengan ini bisa negatif ataupun positif dan lempengan kedua yaitu bumi yang mempunyai sifat netral. Seperti yang sudah kita ketahui, kapasitor merupakan sebuah elemen negatif di dalam hubungan listrik yang dapat menyimpan daya sejenak atau bisa disebut energy storage. Seperti juga petir, dimana terdapat awan yang bermuatan negatif dan positif.


Petir terjadi karena ada perbedaan potensial antara awan dan bumi atau dengan awan lainnya. Proses terjadinya muatan pada awan karena dia bergerak terus menerus secara teratur, dan selama pergerakannya dia akan berinteraksi dengan awan lainnya sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi (atas atau bawah), sedangkan muatan positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Awan sendiri terdiri dari jutaan butiran air dan es beku di udara. Selama proses interaksi, butiran air berbenturan dengan awan lain yang sedang kembali mencair (kondensasi) ke atas. Benturan ini mengakibatkan muatan negatif (elektron) terjatuh.


Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadi ledakan suara.  Elektron tersebut terkumpul di bagian bawah memberikan muatan negatif dan awan yang naik yang kehilangan elektron, membawa muatan positif ke bagian atas.


Pada titik ini, udara yang naik mempunyai kemampuan untuk membawa muatan positif ke awan bagian atas, bagian beku lainnya akan terjatuh ke bagian awan terbawah atau menuju ke tanah. Kombinasi antara benturan dan pembekuan ini menyebabkan perbedaan muatan yang sangat besar, dan mengakibatkan terjadinya sambaran petir.


Mengapa petir terjadi? Ini sebenarnya proses keseimbangan alam. Tujuannya membuang muatan elektron yang berlebih melalui udara untuk mencapai kesetimbangan.

Penyebab guruh telah menjadi subjek spekulasi dan penelitian ilmiah selama berabad-abad. Teori pertama yang tercatat dikemukakan oleh Aristoteles pada abad ketiga Masehi, dan spekulasi awal yang memperkirakan bahwa ia disebabkan oleh tabrakan awan. Kemudian, teori-teori lain mulai bermunculan. Pada pertengahan abad ke-19, teori yang diterima adalah bahwa petir menghasilkan keadaan vakum pada jalur yang dilewatinya, dan guruh disebabkan oleh pergerakan udara yang segera mengisi ruang kosong tersebut. Kemudian pada akhir abad ke-19, orang menganggap bahwa guruh disebabkan oleh ledakan uap air ketika air yang berada di jalur petir dipanaskan. Teori yang lain menyatakan bahwa material berbentuk gas dihasilkan oleh petir dan meledak. Baru pada abad ke-20 diperoleh kesepakatan bahwa guruh disebabkan gelombang kejut di udara akibat pemuaian termal mendadak plasma pada jalur petir.


Guruh atau geledek adalah kata yang digunakan untuk mendeskripsikan gelombang kejut suara yang dihasilkan akibat terjadinya pemanasan dan pemuaian udara yang sangat cepat ketika dilewati oleh sambaran petir. Sambaran tersebut menyebabkan udara berubah menjadi plasma dan langsung meledak, menimbulkan munculnya suara yang bergemuruh.


Fenomena ini terjadi pada saat bersamaan dengan kilatan petir, tetapi suara gemuruhnya biasanya terdengar beberapa saat setelah kilatan terlihat. Hal ini terjadi karena cahaya merambat lebih cepat (186.000 mil / 299.338 kilometer per detik) bila dibandingkan suara (sekitar 700 mil / 1.126 kilometer per jam, bervariasi tergantung temperatur, kelembapan dan tekanan udara).


Sama halnya dengan pesawat yang melintas dengan kecepatan suara, ini menyebabkan ledakan suara (gemuruh) di udara, sehingga dinamakan gemuruh/guntur. Dikarenakan suara guntur mencapai pendengaran kita dengan kecepatan suara (340 m/detik di udara); sedangkan petir mencapai visual (penglihatan ) kita dengan kecepatan cahaya (99, 793 km/detik). Ini menyebabkan perbedaan waktu antara dua peristiwa, dan dengan demikian membuat kilatan (petir) mencapai bumi lebih sebelum guntur.


Biasanya petir disertai dengan suara gemuruh yang biasa disebut guruh atau geledek, suara yang kencang itu terjadi karena saat udara dilewati petir, terjadi pemanasan dan pemuaian udara dengan sangat cepat sehingga udara menjadi plasma dan meledak menghasilkan suara yang menggelegar. Sebenarnya proses terbentuknya suara ini terjadi bersamaan dengan saat terjadi petir, namun biasanya guruh baru terdengar setelah petir terlihat. Keterlambatan suara guruh itu terjadi karena perbedaan antara kecepatan cahaya ( 3×108 m/s ) dan kecepatan bunyi di udara ( 340 m/s ). Sesuai dengan rumus kecepatan :

S = V x t
Dengan
S : jarak (m)
V : kecepatan (m/s)
t : waktu (s) dapat dihitung jarak antara petir dan pengamat dengan berpedoman pada berapa lama suara guntur terdengar setelah petir ( karena kecepatan cahaya sangat cepat maka diabaikan ) :

 

No comments:

Post a Comment

Translate

Entri Populer